Template Information

Home » , , » MAKALAH USHUL FIQIH - TRANSPALTASI ORGAN BERDASARKAN PANDANGAN ISLAM

MAKALAH USHUL FIQIH - TRANSPALTASI ORGAN BERDASARKAN PANDANGAN ISLAM


ÉOó¡Î0 «!$# Ç`»uH÷q§9$# ÉOŠÏm§9$# ÇÊÈ
TRANSPLANTASI ORGAN BERDASARKAN PANDANGAN ISLAM
Disusun pada tanggal 8 November 2011
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Ushul Fiqih
di Prodi Pendidikan Kimia semester 7
Dibimbing oleh DR. Andewi Suhartini M.Ag
Oleh:
Moh. Wildan Rahmat B Y
311357_267448219946657_100000444437783_1014140_912178749_n.jpgNIM: 208204126





PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KIMIA
FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2011 M/1432 H

 BAB I
PENDAHULUAN
1.1       LATAR BELAKANG MASALAH
Transplantasi merupakan salah satu temuan teknologi kedokteran modern dengan metode kerja berupa pemindahan jaringan atau organ tubuh dari satu tempat ke tempat lainnya. Hal ini dapat dilakukan pada satu individu atau dua individu. Transplantasi dilakukan dengan tujuan pengobatan penyakit sebagai berikut :
1. Pengobatan serius, jika tidak dilakukan transplantasi maka akan berakibat pada kematian. Seperti transplantasi jantung, ginjal dan hati.
2. Pengobatan yang dilakukan untuk menghindari cacat fisik yang akan menimbulkan gangguan psikologi pada penderita, seperti transplantasi kornea mata, dan menambal bibir sumbing. Transplantasi jenis ini dilakukan bukan untuk menghindari kematian, tetapi sekedar pengobatan untuk menghindari cacat seumur hidup.  Pada tahun 40-an telah diadakan pengujian transplantasi organ hewan pada hewan juga kemudian disusul pada tahun 50-an dari hewan ke manusia dan berhasil dan berkembang dari organ manusia kepada organ manusia.
Dari keberhasilan uji coba tersebut, timbul satu masalah baru yang perlu dikaji dalam kaitannyadengan hukum Islam. Apakah transplantasi organ tubuh manusia kepada manusia dibolehkan dalam hukum Islam atau tidak ?.
Kalau kita lihat dalam literatur Arab transplantasi bukan suatu hal yang baru. Karena, pada abad VI H., masalah tersebut sudah dibahas dalam literatur Arab. Akan tetapi, transplantasi tidak menjadi perbincangan publik karena transplantasi merupakan fiqh iftirad} (pengandaian) yang biasa didapatkan dalam literatur Arab dan kemungkinan terjadinya tidak bisa dipastikan dengan kapan dan di mana.
1.2       TUJUAN
Makalah ini disusun untuk mengetahui hukum transplantasi menurut agama islam.
1.3       RUMUSAN MASALAH
Dari uraian di atas, sebenarnya banyak masalah yang berkaitan dengan transplantasi yang harus dikaji hukumnya khususnya yang berkaitan dengan hukum Islam. Dalam tulisan ini penulis hanya fokus pada salah satu masalah atau bagian dari masalah-masalah transplantasi. Masalah yang penulis akan kaji khususnya yang berkaitan dengan hukum Islam, ialah :
Bagaimana pendapat ulama fiqh (pakar hukum Islam) berkenaan dengan praktek transplantasi?.
1.4       MANFAAT
Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat bermanfaat, khususnya sebagai tenaga kesehatan yang beragama islam harus mengetahui hukum- hukum transplantasi menurut agama islam.






















BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.2              Sejarah Transplantasi Organ
Yang memberikan ilham masalah transplantasi dalam Ilmu Kedokteran adalah:
1.  Terciptanya Hawa dari tulang iga yang diambil dari tulang iga milik Adam.  
2. Legenda taentang Icarus yang berhasil membuat sayap dari bulu burung garuda lalu ditempelkan di badannya.
Kira-kira 2000 tahun sebelum Kristus, di Mesir ditemukan sebuah manuskrip yang isinya antara lain uraian mengenai percobaan-percobaan transplantasi jaringan. Sedang di India beberapa puluh tahun sebelum Kristus, seorang ali bedah bangsa Hindu telah berhasil memperbaiki hidung seorang tahanan yang cacat akibat siksaan, dengan cara mentransplantasikan sebagian kulit jaringan lemak di bawahnya yang berasal dari lengannya. Pengalaman ini merangsang George Tagliacosi, ahli bedah bangsa Italia, pada tahun 1597 mencoba memperbaiki cacat pada hidung seseorang dengan menggunakan kulit milik kawannya.
Pada tahun 1863, Paul Bert, ahli fisiologi bangsa Perancis berpendapat transplantasi jaringan antar individu yang sejenis akan mengalami kegagalan, tetapi dia tidak dapat menjelaskan sebabnya. Kemudian pada tahun 1903, C.O. Jensen, seorang ahli biologi dan tahun 1912, G. Schone, seorang ahli bedah; kedua-duanya bangsa Jerman; menjelaskan mekanisme penolakan jaringan oleh resipien, yaitu karena terjadi proses imunitas dalam tubuh resipien. John Murphy, ahli bedah bangsa Amerika, pada tahun 1897 telah berhasil menyambung pembuluh darah pada binatang percobaan. Prestasinya ini membawa perkembangan lebih pesat dan lebih maju dalam bidang transplantasi dan menjadi tonggak diadakannya transplantasi organ.
Pada tahun 1902 E. Ullman, ahli bedah bangsa Jerman, dan setahun kemudian Claude Beck, ahli bedah bangsa Amerika, telah berhasil melakukan transplantasi ginjal pada seekor anjing.Pada awal abad ke XX timbul pemikiran mengadakan transplantasi jaringan atau organ pada dua individu kembar yang berasal dari satu sel telur. Karena individu kembar yang berasal dari satu sel telur secara biologis dapat dianggap satu individu. Berdasarkan kenyataan ini mendorong Dr. J.E. Murray pada tahun 1954 untuk mengobati seorang anak yang menderita penyakit ginjal dengan mentransplantasikan ginjal yang berasal dari sudara kembarnya.

2.2              Pengertian Transplantasi
Di dalam dunia kedokteran, transplantasi (pencangkokan) dapat diartikan sebagai usaha memindahkan sebagian dari bagian tubuh (jaringan atau organ) dari satu tempat ke tempat lain. Dari pengertian tersebut transplantasi dapat dibagi menjadi dua bagian:a.Transplantasi jaringan seperti pencangkokan kornea mata.b.Transplantasi organ seperti pencangkokan ginjal, jantung, dan sebagainyaBerdasarkan hubungan genetik antara donor dengan resipien, ada tiga macam pencangkokan, yaitu:
1. Autotransplantasi
Yaitu transplantasi dimana donor dan resipiennya satu individu. Seperti seseorang yang pipinya dioperasi untuk memulihkan bentuk, diambil daging dari bagian tubuhnya yang lain.
2. Homotransplantasi (Allotransplantasi)
yaitu transplantasi dimana donor dan resipiennya individu yang sama jenisnya. Homotransplantasi dapat terjadi pada dua individu yang masih hidup; bisa juga antara donor yang sudah meninggal yang disebut cadaver donor sedang resipien masih hidup.
3. Heterotransplantasi (Xenotransplantasi),
Yaitu transplantasi yang donor dan resipiennya adalah dua individu yang berbeda jenisnya. Misalnya mentransplantasikan jaringan atau organ dari binatang ke manusia.Indikasi utama transplantasi organ adalah ikhtiar pengobatan organ itu (yang menderita penyakit sehingga merusak fungsinya) setelah semua ikhtiar pengobatan lainnya dilakukan tetapi mengalami kegagalan.
Melihat tingkatannya, tujuan transplantasi untuk pengobatan mempunyai kedudukan yang berlainan; ada yang semata-mata pengobatan dari sakit atau cacat yang kalau tidak dilakukan dengan pencangkokan tidak akan menimbulkan kematian, tetapi akan menimbulkan cacat atau ketidak sempurnaan badan, seperti pencangokan menambal bibir sumbing, pencangkokan kornea untuk mengobati orang yang korneanya rusak atau tidak dapat melihat. Kalau tidak dilakukan pencangkokan, orang yang sumbing tetap sehat seluruh jasmaninya, hanya mukanya tidak sebagaimana biasa. Mengenai pencangkokan kornea, jika tidak dilakukan tidak akan mengalami kematian tetapi mengakibatkan kebutaan yang akan mengurangi kegiatan dibanding orang yang lengkap seluruh anggota badannya. Pada pencangkokan yang termasuk pengobatan yang jika tidak dilakukan akan menimbulkan kematian, adalah seperti pencangkokan penggantian ginjal, hati, jantung, dan sebagainya. Kalau tidak dialkukan pencangkokan akan mengakibatkan kematian pasien.Melihat tingkatan itu, dapat diperinci, pada pencangkokan tingkat pertama adalah tingkat dihajadkan, sedang tingkat kedua tingkat darurat.
2.3              Macam-macam Transplantasi Organ
Melihat dari pengertian di atas, transplantasi dapat dibedakan dalam 2 hal:
1. Transplantasi jaringan seperti pencangkokan kornea mata.
2. Transplantasi organ seperti pencangkokan organ ginjal, jantung dan sebagainya. Melihat dari hubungan genetik antara donor (pemberi jaringan atau organ yang ditransplantasikan) dari resipien (orang yang menerima pindahan jaringan atau organ), ada tiga macam pencangkokan :
1. Auto transplantasi, yaitu transplantasi di mana donor resipiennya satu individu. Seperti seorang yang pipinya dioperasi, untuk memulihkan bentuk, diambilkan daging dari bagian badannya yang lain dalam badannya sendiri.
2. Homo transplantasi, yakni di mana transplantasi itu donor dan resipiennya individu yang sama jenisnya, (jenis di sini bukan jenis kelamin, tetapi jenis manusia dengan manusia). Pada homo transplantasi ini bisa terjadi donor dan resipiennya dua individu yang masih hidup, bisa juga terjadi antara donor yang telah meninggal dunia yang disebut cadaver donor, sedang resipien masih hidup.
3. Hetero transplantasi ialah yang donor dan resipiennya dua individu yang berlainan jenisnya, seperti transplantasi yang donornya adalah hewan sedangkan resipiennya manusia. Pada auto transplantasi hampir selalu tidak pernah mendatangkan reaksi penolakan, sehingga jaringan atau organ yang ditransplantasikan hampir selalu dapat dipertahankan oleh resipien dalam jangka waktu yang cukup lama.
Pada homo transplantasi dikenal tiga kemungkinan
1. Apabila resipien dan donor adalah saudara kembar yang berasal dari satu telur, maka transplantasi hampir selalu tidak menyebabkan reaksi penolakan. Pada golongan ini hasil transplantasinya serupa dengan hasil transplantasi pada auto transplantasi.
2. Apabila resipien dan donor adalah saudara kandung atau salah satunya adalah orang tuanya, maka reaksi penolakan pada golongan ini lebih besar daripada golongan pertama, tetapi masih lebih kecil daripada golongan ketiga.
3. Apabila resipien dan donor adalah dua orang yang tidak ada hubungan saudara, maka kemungkinan besar transplantasi selalu menyebabkan reaksi penolakan.
Pada waktu sekarang homo transplantasi paling sering dikerjakan dalam klinik, terlebih-lebih dengan menggunakan cadaver donor, karena :
1. Kebutuhan organ dengan mudah dapat dicukupi, karena donor tidak sulit dicari.
2. Dengan perkembangan ilmu pengetahuan yang sangat pesat, terutama dalam bidang immunologi, maka reaksi penolakan dapat ditekan seminimal mungkin. 
Pada hetero transplantasi hampir selalu meyebabkan timbulnya reaksi penolakan yang sangat hebat dan sukar sekali diatasi. Maka itu, penggunaanya masih terbatas pada binatang percobaan. Tetapi pernah diberitakan adanya percobaan mentransplantasikan kulit babi yang sudah di iyophilisasi untuk menutup luka bakar yang sangat luas pada manusia. Sekarang hampir semua organ telah dapat ditransplantasikan, sekalipun sebagian masih dalam taraf menggunakan binatang percobaan, kecuali otak, karena memang tehnisnya amat sulit.Namun demikian pernah diberitakan bahwa di Rusia sudah pernah dilakukan percobaan mentransplantasikan kepala pada binatang dengan hasil baik.
2.4              Masalah Etik dan Moral dalam Transplantasi
Beberapa pihak yang ikut terlibat dalam usaha transplantasi adalah (a) donor hidup,(b) jenazah dan donor mati, (c) keluarga dan ahli waris, (d) resepien, (e) dokter dan pelaksana lain, dan (f) masyarakat. Hubungan pihak-pihak itu dengan masalah etik dan moral dalam transplantasi akan dibicarakan dalam uraian dibawah ini.
a. Donor Hidup
Adalah orang yang memberikan jaringan/organnya kepada orang lain (resepien). Sebelum memutuskan untuk menjadi donor, seseorang harus mengetahui dan mengerti resiko yang dihadapi, baik resiko di bidang medis, pembedahan, maupun resiko untuk kehidupannya lebih lanjut sebagai kekurangan jaringan/organ yang telah dipindahkan. Disamping itu, untuk menjadi donor, sesorang tidak boleh mengalami tekanan psikologis. Hubungan psikis dan omosi harus sudah dipikirkan oleh donor hidup tersebut untuk mencegah timbulnya masalah.
b. Jenazah dan donor mati
Adalah orang yang semasa hidupnya telah mengizinkan atau berniat dengan sungguh - sungguh untuk memberikan jaringan / organ tubuhnya kepada yang memerlukan apabila ia telah meninggal kapan seorang donor itu dapat dikatakan meninggal secara wajar, dan apabila sebelum meninggal, donor itu sakit, sudah sejauh mana pertolongan dari dokter yang merawatnya. Semua itu untuk mencegah adanya tuduhan dari keluarga donor atau pihak lain bahwa tim pelaksana transplantasi telah melakukan upaya mempercepat kematian seseorang hanya untuk mengejar organ yang akan ditransplantasikan
c. Keluarga donor dan ahli waris
Kesepakatan keluarga donor dan resipien sangat diperlukan untuk menciptakan saling pengertian dan menghindari konflik semaksimal mungkin atau pun tekanan psikis dan emosi di kemudian hari. Dari keluarga resepien sebenarnya hanya  dituntut suatu penghargaan kepada donor dan keluarganya dengan tulus. Alangkah baiknya apabila dibuat suatu ketentuan untuk mencegah tinmulnya rasa tidak puas kedua belah pihak.
d. Resipien
Adalah orang yang menerima jaringan / organ orang lain. Pada dasarnya, seorang penderita mempunyai hak untuk mendapatkan perawatan yang dapat memperpanjang hidup atau meringankan penderitaannya. Seorang resepien harus benar - benar mengerti semua hal yang dijelaskan oleh tim pelaksana transplantasi. Melalui tindakan transplantasi diharapkan dapat memberikan nilai yang besar bagi kehidupan resepien. Akan tetapi, ia harus menyadari bahwa hasil transplantasi terbatas dan ada kemungkinan gagal. Juga perlu didasari bahwa jika ia menerima untuk transplantasi berarti ia dalam percobaan yang sangat berguna bagi kepentingan orang banyak di masa yang akan datang.
e. Dokter dan tenaga pelaksana lain
Untuk melakukan suatu transplantasi, tim pelaksana harus mendapat parsetujuan dari donor, resepien, maupun keluarga kedua belah pihak. Ia wajib menerangkan hal-hal yang mungkin akan terjadi setelah dilakukan transplantasi sehingga gangguan psikologis dan emosi di kemudian hari dapat dihindarkan. Tnaggung jawab tim pelaksana adalah menolong pasien dan mengembangkan ilmu pengetahuan untuk umat manusia. Dengan demikian, dalam melaksanakan tugas, tim pelaksana hendaknya tidak dipengaruhi oleh pertimbangan-pertimbangan kepentingan pribadi.
f. Masyarakat
Secara tidak sengaja masyarakat turut menentukan perkembangan transplantasi. Kerjasama tim pelaksana dengan cara cendekiawan, pemuka masyarakat, atau pemuka agama diperlukan unutk mendidik masyarakat agar lebih memahami maksud dan tujuan luhur usaha transplantasi. Dengan adanya pengertian ini kemungkinan penyediaan organ yang segera diperlikan, atas tujuan luhur, akan dapat diperoleh.

2.5              ASPEK HUKUM TRANSPLANTASI
Pengaturan mengenai transplantasi organ dan atau jaringan tubuh manusia telah diatur dalam hukum positif di Indonesia. Dalam peraturan tersebut diatur tentang siapa yang berwenang melakukan tindakan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh manusia, bagaimana prosedur pelaksanaan tindakan medis transplantasi organ dan atau jaringan tubuh manusia, juga tentang sanksi pidana. Dalam UU No. 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan bagi pelaku pelanggaran baik yang tidak memiliki keahlian dan kewenangan, melakukan transplantasi organ dan atau jaringan tubuh manusia tanpa persetujuan donor atau ahli waris, memperjual belikan organ dan atau jaringan tubuh manusia diancam pidana penjara paling lama 7 (tujuh ) tahun dan denda paling banyak Rp.140.000.000,- (seratus empat puluh juta) sebagaimana diatur dalam Pasal 81 ayat (1)a, Pasal 81 ayat (2)a, Pasal 80 ayat (3), dan sanksi administratif terhadap pelaku pelanggaran yang melakukan transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia yang diatur dalam Pasal 20 ayat (2) PP No. 81 Tahun 1981 tentang Bedah Mayat Minis dan Bedah Mayat Anatomis serta Transplantasi Alat dan/atau Jaringan Tubuh Manusia. Untuk menanggulangi perdagangan gelap organ dan/atau jaringan tubuh manusia diatur dalam UU
No. 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, yang berisi ketentuan mengenai jenis perbuatan dan sanksi  pidana bagi pelaku yang terdapat dalam Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 11, Pasal 13, dan Pasal 17, dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 120.000.000, (seratus dua puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp. 600.000.000, (enam ratus juta rupiah). Sedangkan sebagai bentuk perlindungan terhadap anak yang juga rentan terhadap tindakan eksploitasi perdagangan gelap transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh telah diatur dalam Pasal 47 dan Pasal 85 UU NO. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, serta yang berisi ketentuan mengenai jenis tindak pidana dan sanksi pidana yang dapat dikenakan terhadap pelakunya.Dalam melakukan tindakan medis transplantasi organ dan/atau jaringan tubuh manusia seorang dokter harus melakukannya berdasarkan standart profesi serta berpegang teguh pads Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI).





BAB III
TINJAUAN HUKUM ISLAM TERHADAP TRANSPLANTASI

3.1       Hukum Transplantasi Dalam Islam
Mengenai pengobatan, dalam Al-Qur'an tidak disebutkan secara khusus , hanya ada petunjuk bahwa diturunkannya Al-Qur'an sebagai penyembuh seperti pada surat Al- Isra' yang artinya adalah "Al-Qur'an adalah penyembuh atau obat yang sempurna, obat rohani dan jasmani,obat bagi dunia dan akhirat"
Ayat lain yang menganjurkan agar memelihara diri untuk tidak berbuat yang mendatangkan kerusakan diri, seperti tersebut dalam surat Al-Baqarah ayat 195:
(#qà)ÏÿRr&ur Îû È@Î6y «!$# Ÿwur (#qà)ù=è? ö/ä3ƒÏ÷ƒr'Î/ n<Î) Ïps3è=ök­J9$# ¡ (#þqãZÅ¡ômr&ur ¡ ¨bÎ) ©!$# =Ïtä tûüÏZÅ¡ósßJø9$# ÇÊÒÎÈ  
Artinya : " Janganlah kamu menjerumuskan diri dalam kerusakan"
Ayat di atas mengandung ketentuan agar kita tidak berbuat yang merusakkan diri, termasuk dalam pengertian ini adalah larangan membiarkan diri tidak terpelihara, sehingga menderita sakit, dan bila menderita sakitpun kita dilarang untuk membiarkan diri untuk diobati. Dengan kata lain mengobati badan di waktu menderita sakit merupakan perintah Tuhan. Secara tegas Hadist Nabi berbunyi: "Hendaklah kamu sekalian berobat, wahai hamba Allah, karena Allah tidak menjadikan penyakit kecuali menjadikan pula obatnya, selain penyakit yang satu yaitu penyakit tua."
Hadist ini tidak termasuk hadist yang sahih Bukhari Muslim, tetapi isinya didukung oleh hadist lain yang diriwayatkan oleh Imam Muslim: "Setiap penyakit ada obatnya. Jika obat diterapkan atas sesuatu penyakit, semoga sembuh dengan izin Allah."
Dari segi pengobatan maka pencangkokan itu dapat digolongkan hal yang dianjurkan, melihat pada lafaz Hadist pertama di atas, yakni bentuk amar (perintah). Hukum yang ditunjuki oleh amar itu wajib. Melihat jiwa ayat dan hadist di atas, serta mempertahankan qaidah di atas dapat ditetapkan sementara bahwa hukum pencangkokan adalah wajib, sekurang-kurangnya sunnah. Tetapi belum dapat berhenti sampai di sini, karena jika dilihat cara pencangkokan dan macamnya, dokter yang melakukan pencangkokan itu harus melakukan operasi yang memerlukan pembicaraan tersendiri, apalagi pada homotransplantsi dengan cadaver donor.
Dalam persoalan ini akan dijumpai nash umum baik Al-Qur'an maupun Sunnah yang melarang adanya pelukaan, pengaliran darah, khususnya pelukaan terhadap mayat. Al-Qur'an Surat Al-Baqarah ayat 84:
øŒÎ)ur $tRõs{r& öNä3s)»sWÏB Ÿw tbqä3Ïÿó¡n@ öNä.uä!$tBÏŠ Ÿwur tbqã_̍øƒéB Nä3|¡àÿRr& `ÏiB öNä.̍»tƒÏŠ §NèO ÷Länötø%r& óOçFRr&ur tbrßuhô±n@ ÇÑÍÈ  
Artinya : “dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu (yaitu): kamu tidak akan menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan kamu tidak akan mengusir dirimu (saudaramu sebangsa) dari kampung halamanmu, kemudian kamu berikrar (akan memenuhinya) sedang kamu mempersaksikannya.
Hadist Nabi antara lain: "Maka sungguh darah kamu dan harta kamu serta hartabenda kamu diharamkan bagi kamu (jangan diganggu)".
Hadist tentang melukai mayat: "Merusak tulang mayat adalah dosanya seperti merusak tulang orang yang masih hidup."
Memperhatikan nash-nash di atas, maka terlihat adanya taa'arudl (kontradiksi) dengan nash sebelumnya yang menganjurkan berobat. Taa'rudl; karena nash-nash di atas melarang orang mengalirkan darah atau melukai orang lain, sedang nash sebelumnya menyuruh orang berobat, termasuk pencangkokan yang pelaksanaannya melukai dan mengalirkan darah orang lain. Adapun pencangkokan yang tujuannya pengobatan itu, dilakukan dengan mengadakan operasi jaringan atau organ, bahkan kalau terpaksa dengan organ yang telah meninggal selaku donornya; hal itu belum ada dalilnya dan perlu dicari. Dalil yang ada melarang berbuat dan bertindak yang mendatangkan kerusakan. Dalam mengadakan operasi atau pencangkokan memecahkan tulang atau organ mayatpun dilarang oleh Hadist di atas karena mendatangkan kerusakan. Maka terlihat dua masalah yang keduanya akan mendatangkan kerusakan. Yaitu bila tidak dilakukan pencangkokan akan terdapat kemadharatan yakni kematian, bila dilakukan pencangkokan akan terpaksa melakukan hal yang mendatangkan kemadharatan yakni operasi pengambilan jaringan atau organ.
Dari Qaidah Fiqhiyyah didapati qaidah yang relevan dengan masalah ini, ialah: "Kemadharatan dihilangkan" dan "Kemadharatan dihilangkan sedapat mungkin" . Prinsip dalam Hukum Islam, bahwa segala yang menimbulkan kemadharatan harus dihindari dan diusahakan hilangnya. Untuk dua masalah kemadharatan digunakan qaidah: "Kemadharatan yang lebih berat dihilangkan dengan kemadharatan yang lebih ringan".
 Sehingga dengan demikian hukum pencangkokan yang dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien, dengan tujuan pengobatan untuk menghindari cacat tubuh adalah mubah.
Berdasarkan asumsi inilah pembahasan hukum transplantasi organ dilakukan sebagaimana berikut ini:
3.2       Hukum Transplantasi organ ketika masih hidup
Yang dimaksud disini adalah donor anggota tubuh bagi siapa saja yang memerlukan pada saat si donor masih hidup. Donor semacam ini hukumnya boleh. Karena Allah Swt memperbolehkan memberikan pengampunan terhadap qisash maupun diyat. Allah Swt berfirman:
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNä3øn=tæ ÞÉ$|ÁÉ)ø9$# Îû n=÷Fs)ø9$# ( çtø:$# Ìhçtø:$$Î/ ßö6yèø9$#ur Ïö7yèø9$$Î/ 4Ós\RW{$#ur 4Ós\RW{$$Î/ 4 ô`yJsù uÅ"ãã ¼ã&s! ô`ÏB ÏmŠÅzr& ÖäóÓx« 7í$t6Ïo?$$sù Å$rã÷èyJø9$$Î/ íä!#yŠr&ur Ïmøs9Î) 9`»|¡ômÎ*Î/ 3 y7Ï9ºsŒ ×#ÏÿøƒrB `ÏiB öNä3În/§ ×pyJômuur 3 Ç`yJsù 3ytGôã$# y÷èt/ y7Ï9ºsŒ ¼ã&s#sù ë>#xtã ÒOŠÏ9r& ÇÊÐÑÈ  
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.
Namun, donor seperti ini dibolehkan dengan syarat. Yaitu, donor tersebut tidak mengakibatkan kematian si pendonor. Misalnya, dia mendonorkan jantung, limpha atau paru-parunya. Hal ini akan mengakibatkan kematian pada diri si pendonor. Padahal manusia tidak boleh membunuh dirinya, atau membiarkan orang lain membunuh dirinya; meski dengan kerelaannya. Allah Swt berfirman:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#qãYtB#uä Ÿw (#þqè=à2ù's? Nä3s9ºuqøBr& Mà6oY÷t/ È@ÏÜ»t6ø9$$Î/ HwÎ) br& šcqä3s? ¸ot»pgÏB `tã <Ú#ts? öNä3ZÏiB 4 Ÿwur (#þqè=çFø)s? öNä3|¡àÿRr& 4 ¨bÎ) ©!$# tb%x. öNä3Î/ $VJŠÏmu ÇËÒÈ  
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu[1]; Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (an-nisaa ayat : 29)
Selanjutnya Allah Swt berfirman:
* ö@è% (#öqs9$yès? ã@ø?r& $tB tP§ym öNà6š/u öNà6øŠn=tæ ( žwr& (#qä.ÎŽô³è@ ¾ÏmÎ/ $\«øx© ( Èûøït$Î!ºuqø9$$Î/ur $YZ»|¡ômÎ) ( Ÿwur (#þqè=çFø)s? Nà2y»s9÷rr& ïÆÏiB 9,»n=øBÎ) ( ß`ós¯R öNà6è%ãötR öNèd$­ƒÎ)ur ( Ÿwur (#qç/tø)s? |·Ïmºuqxÿø9$# $tB tygsß $yg÷YÏB $tBur šÆsÜt/ ( Ÿwur (#qè=çGø)s? š[øÿ¨Z9$# ÓÉL©9$# tP§ym ª!$# žwÎ) Èd,ysø9$$Î/ 4 ö/ä3Ï9ºsŒ Nä38¢¹ur ¾ÏmÎ/ ÷/ä3ª=yès9 tbqè=É)÷ès? ÇÊÎÊÈ  
Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar[2]". demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya). (Al-an’am ayat 151)
Sebagaimana tidak bolehnya manusia mendonorkan anggota tubuhnya yang dapat mengakibatkan terjadinya pencampur-adukan nasab atau keturunan. Misalnya, donor testis bagi pria atau donor indung telur bagi perempuan. Sungguh Islam telah melarang untuk menisbahkan
dirinya pada selain bapak maupun ibunya. Allah Swt berfirman: 
tûïÏ%©!$# tbrãÎg»sàムNä3ZÏB `ÏiB OÎgͬ!$|¡ÎpS $¨B  Æèd óOÎgÏF»yg¨Bé& ( ÷bÎ) óOßgçG»yg¨Bé& žwÎ) Ï«¯»©9$# óOßgtRôs9ur 4 öNåk¨XÎ)ur tbqä9qà)us9 #\x6YãB z`ÏiB ÉAöqs)ø9$# #Yrãur 4 žcÎ)ur ©!$# ;qàÿyès9 Öqàÿxî ÇËÈ  
orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun. (Al-Mujadilah ayat :2)
Selanjutnya Rasulullah saw bersabda: "Barang siapa yang menasabkan dirinya pada selain bapaknya, atau mengurus sesuatu yang bukan urusannya maka atas orang tersebut adalah laknat Allah, Malaikat dan seluruh manusia".
Sebagaiman sabda Nabi saw: "Barang siapa yang dipanggil dengan (nama) selain bapaknya maka surga haram atasnya"
Begitu pula dinyatakan oleh beliau saw: "Wanita manapun yang telah mamasukkan nasabnya pada suatu kaum padahal bukan bagian dari kaum tersebut maka dia terputus dari Allah, dia tidak akan masuk surga; dan laki-laki manapun yang menolak anaknya padahal dia mengetahui (bahwa anak tersebut anaknya) maka Allah menghijab Diri-Nya dari laki-laki tersebut, dan Allah akan menelanjangi (aibnya) dihadapan orang-orang yang terdahulu maupun yang kemudian".
Adapun donor kedua testis maupun kedua indung telur, hal tersebut akan mengakibatkan kemandulan; tentu hal ini bertentangan dengan perintah Islam untuk memelihara keturunan.
 3.3      Transplantasi Organ yang dilakukan setelah mati
Adapun transplantasi setelah berakhirnya kehidupan; hukumnya berbeda dengan donor ketika (si pendonor) masih hidup. Dengan asumsi bahwa disini diperlukan adanya penjelasan tentang hukum pemilikan terhadap tubuh manusia setelah dia mati. Merupakan suatu hal yang tidak diragukan lagi bahwa setelah kematiannya, manusia telah keluar dari kepemilikan serta kekuasaannya terhadap semua hal; baik harta, tubuh, maupun istrinya. Dengan demikian, dia tidak lagi memiliki hak terhadap tubuhnya. Maka ketika dia memberikan wasiat untuk mendonorkan sebagian anggota tubuhnya, berarti dia telah mengatur sesuatu yang bukan haknya. Jadi dia tidak lagi diperbolehkan untuk mendonorkan tubuhnya. Dengan sendirinya wasiatnya dalam hal itu juga tidak sah. Memang dibolehkan untuk memberikan sebagian hartanya, walaupunl harta tersebut akan keluar dari kepemilikannya ketika hidupnya berakhir. Tetapi itu disebabkan karena syara' memberikan izin pada manusia tentang perkara tersebut. Dan itu merupakan izin khusus pada harta, tentu tidak dapat diberlakukan terhadap yang lain. Dengan demikian manusia tidak diperbolehkan memberikan wasiat dengan mendonorkan sebagian anggota tubuhnya setelah dia mati.
Adapun bagi ahli waris; sesungguhnya syara' mewariskan pada mereka harta yang diwariskan (oleh si mati). Namun syara' tidak mewariskan jasadnya kepada mereka, sehingga mereka tidak berhak untuk mendonorkan apapun dari si mati. Kalau terhadap ahli waris saja demikian, apalagi dokter atau penguasa, mereka sama sekali tidak berhak untuk mentransplantasikan organ orang setelah mati pada orang lain yang membutuhkan. Terlebih lagi terdapat keharusan untuk menjaga kehormatan si mati serta adanya larangan untukmenyakitinya sebagaimana larangan pada orang yang hidup. Rasulullah saw bersabda:  "Mematahkan tulang orang yang telah mati sama hukumnya dengan memotong tulangnya ketika ia masih hidup".
Dengan demikian Rasulullah saw melarang untuk merampas dan menyakiti (si mati). Memang benar bahwa melampaui batas terhadap orang mati dengan melukai atau memotong atau bahkan memecahkan (tulang) tidak ada jaminan (diyat) sebagaimana ketika dia masih hidup. Akan tetapi jelas bahwa melampaui batas terhadap jasad si mati atau menyakitinya dengan cara mengambil anggota tubuhnya adalah haram; dan haramnya bersifat pasti (qath'i). Mengenai keadaan darurat yang telah dijadikan alasan oleh aparat negara, jajaran humas serta muftinya-yang membolehkan transplantasi; hal tersebut membutuhkan kajian tentang keadaan darurat serta penerapannya pada masalah transplantasi organ.
 Sesungguhnya Allah Swt telah membolehkan orang dalam keadaan darurat hingga kehabisan bekal dan hidupnya terancam kematian untuk makan apa saja yang dijumpainya. Meski makanan tersebut diharamkan oleh Allah, namun (dalam kondisi darurat) dimakan sekedar untuk memulihkan tenaganya serta agar tetap hidup. Maka illat bolehnya makan makanan haram adalah untuk menjaga (eksistensi) kehidupan manusia. Dengan mengkaji anggota tubuh yang akan ditransplantasikan, maupun maksud transplantasi maka adakalanya penyelamatan hidup manusia tergantung pada tranplantasi (tentu berdasarkan dugaan kuat) seperti jantung, hati maupun kedua ginjal. Atau ada kalanya tranplantasi anggota tubuh yang tidak berhubungan langsung dengan penyelamatan hidup. Misalnya tranplantasi kornea, atau pupil atau mata secara keseluruhan dari orang yang telah mati.
Adapun anggota tubuh yang diduga kuat dapat menyelamatkan kehidupan manusia maka illat- nya dalam hal ini tidak sempurna. Karena kadang-kadang berhasil, kadang-kadang juga tidak. Hal ini berbeda dengan illat memakan bangkai; yang secara pasti mampu menyelamatkan hidup manusia. Terlebih lagi bahwa sebagian dari illah cabang ('illat al-far'u)-dalam hal ini transplantasi-adalah terbebas dari pertentangan (dalil) yang lebih kuat, yang mengharuskan kebalikan dari perkara yang telah ditetapkan oleh 'illat qiyas. 'Illat qiyas dalam transplantasiorgan adalah untuk memelihara kehidupan manusia-sebagaimana pada kasus makan bangkai. Padahal illat tersebut masih berupa 'diduga kuat'. Ini bertentangan dengan (dalil) yang lebih kuat yaitu kehormatan jenazah serta larangan menyakiti atau merusaknya. Berdasarkan hal ini tidak diperbolehkan (haram) melakukan transplantasi organ; yang dengan transplantasi tersebut kehidupan seseorang tergantung padanya.
Sedangkan transplantasi organ yang penyelamatan kehidupan orang tidak tergantung padanya; atau dengan kata lain kegagalan transplantasi tersebut tidak mengakibatkan kematian, maka illat yang ada pada pokok ('illah al-ashl) -pemeliharaan terhadap kehidupan manusia-tidak ada. Dengan begitu hukum darurat tidak berlaku disini. Dengan demikian maka tidak diperbolehkan melakukan tranplantasi organ dari seseorang yang telah mati; sementara dia terpelihara darahnya-baik muslim, kafir dzimmi, mu'ahid maupun musta'min-pada orang lain yang kehidupannya tergantung pada (keberhasilan) tranplantasi organ tersebut.
Transplantasi organ adalah transplantasi atau pemindahan seluruh atau sebagian organ dari satu tubuh ke tubuh yang lain, atau dari suatu tempat ke tempat yang lain pada tubuh yang sama. Transplantasi ini ditujukan untuk menggantikan organ yang rusak atau tak befungsi pada penerima dengan organ lain yang masih berfungsi dari donor. Donor organ dapat merupakan orang yang masih hidup ataupun telah meninggal. Penggunaan organ tubuh mayat manusia untuk pengobatan manusia dan untuk kelangsungan hidupnya merupakan suatu kemaslahatan yang dituntut syarak. Oleh sebab itu, menurutnya, dalam keadaan darurat organ tubuh mayat boleh dimanfaatkan untuk pengobatan. Akan tetapi, pemanfaatan organ tubuh mayat manusia sebagai obat tersebut harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
Pengobatan tidak bisa dilakukan, kecuali dengan organ tubuh mayat manusia;
a.                   Manusia yang diobati itu adalah orang yang haram darahnya (seorang muslim yang memelihara kehormatannya); apabila jiwa yang akan diselamatkan itu adalah orang yang halal darahnya (seperti seseorang yang telah melakukan pembunuhan dan akan dikenakan hukuman kisas, atau seseorang yang akan dikenai hukuman rajam karena berbuat zina), maka pemanfaatan organ tubuh mayat tidak dibolehkan baginya;
b.                  Penggunaan organ tubuh manusia itu benar-benar dalam keadaan darurat; dan penggunaan organ tubuh mayat manusia itu mendapatkan izin dari orang tersebut (sebelum ia wafat) atau dari ahli warisnya (setelah ia wafat). Kalangan ulama mazhab juga sependapat untuk tidak membolehkan transplantasi organ tubuh manusia yang dalam keadaan koma atau hampirmeninggal (tipe kedua). Sekalipun harapan hidup bagi orang tersebut sangat kecil, ia harus dihormati sebagai manusia sempurna.
Dalam kaitan dengan ini, Ibnu Nujaim (w. 970 H/1563 M) dan Ibnu Abidin (1198 H/1784 M-1252 H/1836 M), dua tokoh fikih Mazhab Hanafi, menyatakan bahwa organ tubuh manusia yang masih hidup tidak boleh dimanfaatkan untuk pengobatan manusia lainnya, karena kaidah fikih menyatakan: "suatu mudarat tidak bisa dihilangkan dengan mudarat lainnya." Pernyataan senada juga muncul dari Ibnu Qudamah, tokoh fikih Mazhab Hanbali, dan Imam an-Nawawi, tokoh fikih Mazhab Syafi'i. Akan tetapi, para ulama fikih berbeda pendapat mengenai pengambilan organ tubuh untuk pengobatan dari orang yang telah dijatuhi hukuman mati, seperti orang yang dikisas, dirajam karena berbuat zina, atau murtad. Jumhur ulama Mazhab Hanafi, Mazhab Maliki, dan Mazhab az-Zahiri, berpendapat bahwa sekalipun orang tersebut telah dijatuhi hukuman mati, bagian tubuhnya tidak boleh dimanfaatkan untuk pengobatan, walaupun dalam keadaan darurat. Sebaliknya, ulama Mazhab Syafi'i dan Mazhab Hanbali berpendirian bahwa dalam keadaan darurat organ tubuh orang yang telah dijatuhi hukuman mati boleh dimanfaatkan untuk penyembuhan orang lain, dengan syarat bahwa pengambilan organ tersebut dilakukan setelah ia wafat.
Dalam kaitan dengan ini, menurut Abu Hasan Ali asy-Syazili, tidak ada salahnya apabila dokter melakukan pemeriksaan organ tubuh terpidana, apakah bisa ditransplantasi atau tidak, sehingga pengambilan organ tersebut tidak sia-sia. Di samping itu, pengambilan organ tubuh tersebut harus diawasi oleh hakim dan dilakukan di bawah koordinasi dokter-dokter spesialis. Memperjual-belikan dan Menyumbangkan Organ Tubuh. Persoalan lain yang menyangkut transplantasi organ tubuh adalah jual-beli atau sumbang organ tubuh kepada orang yang memerlukannya. Dalam berbagai literatur fikih ditemukan pernyataan para ulama fikih yang tidak membolehkan seseorang memperjualbelikan organ tubuhnya karena hal itu bisa mencelakakan dirinya sendiri. Sikap mencelakakan diri sendiri dikecam oleh Allah SWT melalui firman-Nya dalam surah al-Baqarah (2) ayat 195 tersebut di atas.
Jamaluddin Abu Muhammad Abdullah bin Yusuf bin Muhammad Ayyub bin Musa al-Hanafi az-Zaila'i (w. 762 H/1360 M), tokoh fikih Mazhab Hanafi dalam kitab fikihnya, Path al-Qadir, menyatakan bahwa ulama Mazhab Hanafi sepakat menyatakan bahwa tidak boleh memperjualbelikan organ tubuh manusia. Pernyataan senada juga muncul dari Imam al-Qarafi (w. 684 H/1285 M) dari kalangan Mazhab Maliki, Imam Badruddin az-Zarkasyi (745-794 H) dari kalangan Mazhab Syafi'i, dan Ibnu Qudamah dari kalangan Mazhab Hanbali. Organ tubuh manusia, menurut mereka, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari manusia itu sendiri, karena masing-masing organ tubuh mempunyai fungsi yang melekat dengan manusia itu sendiri. Oleh sebab itu, memperjualbelikan bagiannya sama dengan memperjualbelikan manusia itu sendiri. Memperjualbelikan manusia diharamkan oleh syarak. Pendapat senada juga dikemukakan ulama Mazhab az-Zahiri. Menurut mereka, seluruh benda yang haram dimakan, haram pula diperjualbelikan. Pembahasan tentang menyumbangkan organ tubuh manusia untuk kepentingan pengobatan orang lain dimulai oleh para ulama fikih berdasarkan dua kaidah populer: (1) setiap yang boleh diperjualbelikan, boleh disumbangkan; dan (2) orang yang tidak memiliki hak untuk bertindak hukum pada suatu benda, tidak boleh memberi izin (memanfaatkan benda itu) kepada orang lain.
Kaidah pertama menunjukkan bahwa setiap benda yang boleh diperjualbelikan boleh pula disumbangkan. Dalam pembahasan di atas, seluruh ulama fikih menyatakan bahwa organ tubuh manusia tidak boleh diperjualbelikan. Berdasarkan kaidah kedua, menurut para ulama fikih, seseorang tidak memiliki hak bertindak hukum.
 3.4      Hukum Transplantasi Organ Dari Organ Non-Muslim
Mencangkok (transplantasi) organ dari tubuh seorang nonmuslim kepada tubuh seorang muslim pada dasarnya tidak terlarang. Mengapa? Karena organ tubuh manusia tidak diidentifikasi sebagai Islam atau kafir, ia hanya merupakan alat bagi manusia yang dipergunakannya sesuai dengan akidah dan pandangan hidupnya. Apabila suatu organ tubuh dipindahkan dari orang kafir kepada orang Muslim, maka ia menjadi bagian dari wujud si muslim itu dan menjadi alat baginya untuk menjalankan misi hidupnya, sebagaimana yang diperintahkan Allah SWT. 
Hal ini sama dengan orang muslim yang mengambil senjata orang kafir. Dan mempergunakannya untuk berperang fi sabilillah. Bahkan sesungguhnya semua organ di dalam tubuh seorang kafir itu adalah pada hakikatnya muslim (tunduk dan menyerah kepada Allah). Karena organ tubuh itu adalah makhluk Allah, di mana benda-benda itu bertasbih dan bersujud kepada Allah SWT, hanya saja kita tidak mengerti cara mereka bertasbih.
Kekafiran atau keIslaman seseorang tidak berpengaruh terhadap organ tubuhnya, termasuk terhadap hatinya (organnya) sendiri. Memang AL-Quran sering menyebut istilah hati yang sering diklasifikasikan sehat dan sakit, iman dan ragu, mati dan hidup. Namun sebenarnya yang dimaksud di sini bukanlah organ tubuh yang dapat diraba (ditangkap dengan indra), bukan yang termasuk bidang garap dokter spesialis dan ahli anatomi. Sebab yang demikian itu tidak berbeda antara yang beriman dan yang kafir, serta antara yang taat dan yang bermaksiat. Tetapi yang dimaksud dengan hati orang kafir di dalam istilah Al-Quran adalah makna ruhiyahnya, yang dengannya manusia merasa, berpikir, dan memahami sesuatu, sebagaimana firman Allah:
óOn=sùr& (#r玍šo Îû ÇÚöF{$# tbqä3tGsù öNçlm; Ò>qè=è% tbqè=É)÷ètƒ !$pkÍ5 ÷rr& ×b#sŒ#uä tbqãèyJó¡o $pkÍ5 ( $pk¨XÎ*sù Ÿw yJ÷ès? ㍻|Áö/F{$# `Å3»s9ur yJ÷ès? Ü>qè=à)ø9$# ÓÉL©9$# Îû ÍrߐÁ9$# ÇÍÏÈ  
Maka Apakah mereka tidak berjalan di muka bumi, lalu mereka mempunyai hati yang dengan itu mereka dapat memahami atau mempunyai telinga yang dengan itu mereka dapat mendengar? karena Sesungguhnya bukanlah mata itu yang buta, tetapi yang buta, ialah hati yang di dalam dada. (QS. Al-Hajj: 46)
ôs)s9ur $tRù&usŒ zO¨YygyfÏ9 #ZŽÏWŸ2 šÆÏiB Çd`Ågø:$# ħRM}$#ur ( öNçlm; Ò>qè=è% žw šcqßgs)øÿtƒ $pkÍ5 öNçlm;ur ×ûãüôãr& žw tbrçŽÅÇö7ム$pkÍ5 öNçlm;ur ×b#sŒ#uä žw tbqãèuKó¡o !$pkÍ5 4 y7Í´¯»s9'ré& ÉO»yè÷RF{$%x. ö@t/ öNèd @|Êr& 4 y7Í´¯»s9'ré& ãNèd šcqè=Ïÿ»tóø9$# ÇÊÐÒÈ  
dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk (isi neraka Jahannam) kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah) dan mereka mempunyai mata (tetapi) tidak dipergunakannya untuk melihat (tanda-tanda kekuasaan Allah), dan mereka mempunyai telinga (tetapi) tidak dipergunakannya untuk mendengar (ayat-ayat Allah). mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang lalai. (QS. Al-A`raf: 179)
Lalu bagaimana dengan firman Allah SWT yang menyebutkan bahwa Orang musyrik itu najis? Benar bahwa Allah SWT telah menyebutkan bahwa orang musyrik itu najis,  sebagaimana disebutkan di dalam Al-Quran:
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãZtB#uä $yJ¯RÎ) šcqä.ÎŽô³ßJø9$# Ó§pgwU Ÿxsù (#qç/tø)tƒ yÉfó¡yJø9$# tP#tysø9$# y÷èt/ öNÎgÏB$tã #x»yd 4 ÷bÎ)ur óOçFøÿÅz \'s#øŠtã t$öq|¡sù ãNä3ÏZøóムª!$# `ÏB ÿ¾Ï&Î#ôÒsù bÎ) uä!$x© 4 žcÎ) ©!$# íOŠÎ=tæ ÒOŠÅ6ym ÇËÑÈ  
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis[3], Maka janganlah mereka mendekati Masjidilharam[4] sesudah tahun ini[5]. dan jika kamu khawatir menjadi miskin. Maka Allah nanti akan memberimu kekayaan kepadamu dari karuniaNya, jika Dia menghendaki. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah: 28)
Namun para ulama sepakat mengatakan bahwa 'najis' dalam ayat tersebut bukanlah dimaksudkan untuk najis indrawi yang berhubungan Dengan badan, melainkan najis maknawi yang berhubungan dengan hati dan akal (pikiran). Karena itu tidak terdapat larangan bagi orang muslim untuk memanfaatkan organ tubuh orang nonmuslim, apabila memang diperlukan.













BAB Iv
PENUTUP
 4.1      KESIMPULAN
Dari penjelasan di atas penulis mengesimpulkan bahwa transplantasi dalam hukum Islam terjadi pertentangan di antara kalangan ulama apakah Boleh melakukan transplantasi atau tidak. Dalam hal ini masih terjadi perbedaan pendapat antar ulama. Allahu 'alam bissawab.
4.2       SARAN 
Kita sebagai orang muslim harus memahami dengan seksama hukum- hukum islam mengenai transplantasi, khususnya sebagai calon perawat yang bekerja di bidang kesehatan yang banyak terdapat pertentangan dengan agama.

















DAFTAR PUSTAKA
Al-Qaulul Mubin fi Akhth'ail Mushallin, Abu Ubaidah Masyhur bin Hasan bin Mahmud Salman. 
  
Syarh Riyadhus Shalihin, Syaikh Muham-mad bin Shalih Al-'Utsaimin. 
 
Sifat Shaum Nabi, Syaikh Ali Hasan dan Salim bin 'Id Al-Hilaly. 
  
Sifat Shalat Nabi, Syaikh Al-Albany. 
  
Manhajul Anbiya' fi Tazkiyatin Nufus, Salim bin 'Id Al-Hilaly. 
 
Hadis Shahih Bukhari-Muslim.

Kitab Al-Mazmu

Kitab Zadul ma’dad

Abu Bakr Jabir al-Jazairi, Minhaajul Muslim, atau Ensiklopedi Muslim: Minhajul Muslim, terj. Fadhli Bahri (Darul Falah, 2002),



http://baim32.multiply.com/journal/item/76/Transplantasi

http://zamzamisaleh.blogspot.com/2009/06/hukum-transplantasi-dalam-islam.html



[1] Larangan membunuh diri sendiri mencakup juga larangan membunuh orang lain, sebab membunuh orang lain berarti membunuh diri sendiri, karena umat merupakan suatu kesatuan.
[2] Maksudnya yang dibenarkan oleh syara' seperti qishash membunuh orang murtad, rajam dan sebagainya.
[3] Maksudnya: jiwa musyrikin itu dianggap kotor, karena menyekutukan Allah.
[4] Maksudnya: tidak dibenarkan mengerjakan haji dan umrah. menurut Pendapat sebagian mufassirin yang lain, ialah kaum musyrikin itu tidak boleh masuk daerah Haram baik untuk keperluan haji dan umrah atau untuk keperluan yang lain.
[5] Maksudnya setelah tahun 9 Hijrah.

0 komentar:

Posting Komentar

Contact Us !

konten

Tracking

Custumer Support

Product :

Total Tayangan Halaman

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Pengikut

Cari Blog Ini