KATA PENGANTAR
Puji
syukur panjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Esa
karena berkat rahmatnya penyusun dapat berhasil menyelesaikan makalah
yang berjudul “Otonomi Daerah”. Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata
kuliah PKN.
Dalam
makalah ini dijelaskan tentang otonomi daerah. Makalah ini terdiri dari tiga bab.
Bab I berisi Pendahuluan, Bab II berisi Pembahasan, dan Bab III berisi
kesimpulan.
Dengan
adanya makalah ini diharapkan agar mahasiswa dapat mengetahui otonomi daerah.
Makalah ini masih jauh dari kesempurnaan maka dari itu kritik dan saran sangat diperlukan.
Somoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan masyarakat luas.
Bandung
Nopember 2011
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Keadaan
geografis indonesia yang berupa kepulauan berpengaruh terhadap mekanisme
pemerintahan negara Indonesia. Dengan keadaan geografis yang berupa kepulauan
ini menyebabkan pemerinyah sulit mengkoordinasi pemerintahan yang ada di
daerah. Untuk memudahkan pengaturan atau penataan pemerintahan, maka diperlukan
adanya suatu sistem pemerintahan yang dapat nerjalan secara efisien dan mandiri
tetapi tetap terawasi dari pusat.
Di
era revormasi ini, sangat dibutuhkan sistem pemerintahan yang memungkinkan
cepatnya penyaluran aspirasi rakyat, namun tetap berada di bawah pengawasan
pemerintah pusat. Hal tersebut sangat dibutuhkan karena mulai munculnya
ancaman-ancaman terhadap keutuhan NKRI, hal tersebut ditandai dengan banyaknya
daerah yang ingin memisahkan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Sumber
daya alam daerah di Indonesia yang tidak merata juga merupakan salah satu
penyebab diperlukannya suatu sistem pemerintahan yang menegakan pengolahan sumber
daya alam yang merupakan sumner pendapatan daerah sekaligus menjadi pendapatan
nasional. Seperti yang kita ketahui, bahwa terdapat beberapa daerah yang
pembangunannya memang harus lebih cepat daripada daerah lain. Karena itulah
pemerintah pusat membuat suatu sistem pengelolaan pemerintahan di tingkat
daerah yang disebut Otonomi Daerah.
Pada
kenyataannya, otonomi daerah itu sendiri tidak bisa diserahkan begitu saja pada
pemerintah daerah. Selain diatur dalam perundang-undangan, pemerintah pusat
juga harus mengawasi keputusan-keputusan yang diambil oleh pemerintah daerah.
Apakan sudah sesuai dengan tujuan nasional, yaitu pemerataan pembangunan di
seluruh wilayah republik Indonesia berdasarkan pada sila kelima Pancasila,
yaitu Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
B. Rumusan Masalah
1. Apa
pengertian dari otonomi daerah?
2. Apa aspek
dari otonomi daerah?
3. Apa prinsif
dan tujuan dari otonomi daerah?
4. Apa hakikat
dari otonomi daerah?
5. Bagaimana
hubungan antara otonomi daerah dan demokratisasi?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui pengertian dari otonomi daerah
2. Untuk
mengetahui aspek dari otonomi daerah
3. Untuk
mengetahui prinsif dan tujuan dari otonomi daerah
4. Untuk
mengetahui hakikat dari otonomi daerah
5. Untuk
mengetahui hubungan antara otonomi daerah dan demokratisasi
BAB II
PEMBAHASAN
Istilah otonomi berasal dari bahasa
Yunani autos yang berarti sendiri dan namos yang berarti Undang-undang atau
aturan. Dengan demikian otonomi dapat diartikan sebagai kewenangan untuk
mengatur dan mengurus rumah tangga sendiri (Bayu Suryaninrat; 1985).
Beberapa pendapat ahli yang dikutip
Abdulrahman (1997) mengemukakan bahwa :
1)
F. Sugeng Istianto, mengartikan otonomi daerah sebagai
hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga daerah.
2)
Ateng
Syarifuddin, mengemukakan bahwa otonomi mempunyai makna kebebasan atau
kemandirian tetapi bukan kemerdekaan. Kebebasan yang terbatas atau kemandirian
itu terwujud pemberian kesempatan yang harus dipertanggungjawabkan.
3)
Syarif Saleh, berpendapat bahwa otonomi
daerah adalah hak mengatur dan memerintah daerah sendiri. Hak mana diperoleh
dari pemerintah pusat.
Pendapat lain dikemukakan oleh
Benyamin Hoesein (1993) bahwa otonomi daerah adalah pemerintahan oleh dan untuk
rakyat di bagian wilayah nasional suatu Negara secara informal berada di luar
pemerintah pusat. Sedangkan Philip Mahwood (1983) mengemukakan bahwa otonomi
daerah adalah suatu pemerintah daerah yang mempunyai kewenangan sendiri yang
keberadaannya terpisah dengan otoritas yang diserahkan oleh pemerintah guna
mengalokasikan sumber sumber material yang substansial tentang fungsi-fungsi
yang berbeda.
Dengan otonomi daerah tersebut,
menurut Mariun (1979) bahwa dengan kebebasan yang dimiliki pemerintah daerah
memungkinkan untuk membuat inisiatif sendiri, mengelola dan mengoptimalkan
sumber daya daerah. Adanya kebebasan untuk berinisiatif merupakan suatu dasar
pemberian otonomi daerah, karena dasar pemberian otonomi daerah adalah dapat
berbuat sesuai dengan kebutuhan setempat.
Kebebasan yang terbatas atau
kemandirian tersebut adalah wujud kesempatan pemberian yang harus
dipertanggungjawabkan. Dengan demikian, hak dan kewajiban serta kebebasan bagi
daerah untuk menyelenggarakan urusan-urusannya sepanjang sanggup untuk
melakukannya dan penekanannya lebih bersifat otonomi yang luas. Pendapat
tentang otonomi di atas, juga sejalan dengan yang dikemukakan Vincent Lemius
(1986) bahwa otonomi daerah merupakan kebebasan untuk mengambil keputusan
politik maupun administrasi, dengan tetap menghormati peraturan perundang-undangan.
Meskipun dalam otonomi daerah ada kebebasan untuk menentukan apa yang menjadi
kebutuhan daerah, tetapi dalam kebutuhan daerah senantiasa disesuaikan dengan
kepentingan nasional, ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Terlepas dari itu pendapat beberapa
ahli yang telah dikemukakan di atas, dalam Undang-undang Nomor 32 tahun 2004
dinyatakan bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan
mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan
aspirasi masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia[1].
B.Aspek Otonomi Daerah
Beranjak dari rumusan di atas, dapat
disimpulkan bahwa otonomi daerah pada prinsipnya mempunyai tiga aspek, yaitu :
1)
Aspek Hak dan Kewenangan untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri.
2)
Aspek kewajiban
untuk tetap mengikuti peraturan dan ketentuan dari pemerintahan di atasnya,
serta tetap berada dalam satu kerangka pemerintahan nasional.
3)
Aspek kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik
dari biaya sebagai perlimpahan kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga
terutama kemampuan menggali sumber pembiayaan sendiri.
Yang dimaksud dengan hak dalam
pengertian otonomi adalah adanya kebebasan pemerintah daerah untuk mengatur
rumah tangga, seperti dalam bidang kebijaksanaan, pembiyaan serta perangkat
pelaksanaannnya. Sedangkan kewajban harus mendorong pelaksanaan pemerintah dan
pembangunan nasional. Selanjutnya wewenang adalah adanya kekuasaan pemerintah
daerah untuk berinisiatif sendiri, menetapkan kebijaksanaan sendiri,
perencanaan sendiri serta mengelola keuangan sendiri.
Dengan demikian, bila dikaji lebih
jauh isi dan jiwa undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, maka otonomi daerah
mempunyai arti bahwa daerah harus mampu :
1)
Berinisiatif sendiri yaitu harus mampu menyusun dan
melaksanakan kebijaksanaan sendiri
2)
Membuat
peraturan sendiri (PERDA) beserta peraturan pelaksanaannya.
3)
Menggali
sumber-sumber keuangan sendiri.
4)
Memiliki alat
pelaksana baik personil maupun sarana dan prasarananya.
C. Prinsip dan Tujuan Otonomi Daerah
Otonomi daerah dan daerah otonom,
biasa rancu dipahami oleh masyarakat. Padahal sebagaimana pengertian otonomi
daerah di atas, jelas bahwa untuk menerapkan otonomi daerah harus memiliki
wilayah dengan batas administrasi pemerintahan yang jelas.
Daerah otonomi adalah wilayah
administrasi pemerintahan dan kependudukan yang dikenal dalam Undang-undang
Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Dengan demikian jenjang daerah
otonom ada dua bagian, walau titik berat pelaksanaan otonomi daerah dilimpahkan
pada pemerintah kabupaten/kota. Adapun daerah provinsi, berotonomi secara
terbatas yakni menyangkut koordinasi antar/lintas kabupaten/kota, serta
kewenangan pusat yang dilimpahkan pada provinsi, dan kewenangan kabupaten/kota
yang belum mampu dilaksanakan maka diambil alih oleh provinsi.
Secara konsepsional, jika dicermati
berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, dengan tidak adanya perubahan
struktur daerah otonom, maka memang masih lebih banyak ingin mengatur pemerintah
daerah baik provinsi maupun kabupaten/kota. Disisi lain, pemerintah
kabupaten/kota yang daerah otonomnya terbentuk hanya berdasarkan kesejahteraan
pemerintahan, maka akan sulit untuk berotonomi secara nyata dan
bertanggungjawab di masa mendatang.
Dalam diktum menimbang huruf (b)
Undang-undang Nomor 22 tahun 1999, dikatakan bahwa dalam penyelenggaraan
otonomi daerah, dipandang perlu untuk lebih menekankan pada prinsip-prinsip
demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan dan keadilan serta mempertimbangkan
potensi dan keanekaragaman daerah.
Otonomi daerah dalam Undang-Undang
Nomor 22 tahun 1999 adalah otonomi luas yaitu adanya kewenangan daerah
untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup semua bidang pemerintahan
kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,
peradilan, moneter dan fiskal, agama serta kewenangan-kewenangan bidang
lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Di samping itu,
keleluasaan otonomi maupun kewenangan yang utuh dan bulat dalam penyelenggaraannya,
mulai dari perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, pengendalian dan evaluasi.
Dalam penjelesan Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999, dikatakan bahwa yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah
keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang
tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh, hidup dan
berkembang di daerah. Sedangkan yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung
jawab adalah berupa perwujudan pertanggung jawaban sebagai konsekuensi
pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang
harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi berupa
peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, serta
pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah
dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Atas dasar pemikiran di atas¸ maka
prinsip-prinsip pemberian otonomi daerah dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun
1999 adalah sebagai berikut :
a)
Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan
memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan serta potensi dan
keanekaragaman daerah yang terbatas.
b)
Pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada
otonomi luas, nyata dan bertanggung jawab.
c)
Pelaksanaan otonomi daerah yang luas dan utuh
diletakkan pada daerah Kabupaten dan daerah kota, sedang otonomi daerah
provinsi merupakan otonomi yang terbatas.
d)
Pelaksanaan otonomi daerah harus sesuai dengan
kontibusi negara sehingga tetap terjalin hubungan yang serasi antara pusat dan
daerah serta antar daerah.
e)
Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan
kemandirian daerah otonom, dan karenanya dalam daerah Kabupaten/daerah kota
tidak ada lagi wilayah administrasi.
f)
Pelaksanaan otonomi daerah harus lebih meningkatkan
peranan dan fungsi badan legislatif daerah, baik fungsi legislatif, fungsi
pengawas maupun fungsi anggaran atas penyelenggaraan pemerintah daerah.
g)
Pelaksanaan
azas dekonsentrasi diletakkan pada daerah provinsi dalam kedudukannya sebagai
wilayah administrasi untuk melaksanakan kewenangan sebagai wakil daerah.
h)
Pelaksanaan azas tugas pembantuan dimungkinkan, tidak
hanya dari pemerintah kepada daerah, tetapi juga dari pemerintah dan daerah
kepada desa yang disertai dengan pembiayaan, sarana dan prasarana, serta sumber
daya manusia dengan kewajiban melaporkan pelaksanaan dan mempertanggung
jawabkan kepada yang menugaskannya.
Adapun tujuan pemberian otonomi
kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan guna meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat.
Sejalan dengan pendapat di atas, The
Liang Gie dalam Abdurrahman (1987) mengemukakan bahwa tujuan pemberian otonomi
daerah adalah :
a)
Mengemukakan kesadaran bernegara/berpemerintah yang
mendalam kepada rakyat diseluruh tanah air Indonesia.
b)
Melancarkan
penyerahan dana dan daya masyarakat di daerah terutama dalam bidang perekonomian[2].
D. Hakikat Otonomi Daerah
Desentralisasi
dalam kerangka sistem penyelenggaraan pemerintah sering digunakan secara campur
baur (interchangeably). Desentralisas sebagai mana didefinisikan perserikatan
bangsa-bangsa (PBB) adalah:
Desentralisasi terkait dengan masalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat yang berada di ibu kota negara baik melalui secara dekonsentrasi, misalnya pendelegrasian, kepada pejabat di bawahnya maupun melalui pendelegasian kepada pemerintah atau perwakilan d daerah.
Sedangkan pengertian otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai ”mandiri ”. Sedangkan dalam makna yang luas diartikan sebagai ” berdaya”. Otonomi daerah engan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.
Namun demikian, pelaksanan desentralisasi haruslah dilandasi argumentasi yang kuat baik secara teoritik ataupun empirik. Kalangan teoritis pemerintah dan politik mengajukan sejumlah argumen yang menjadi dasar atas pilihan tersebut sehingga dapat dipertanggung jawabkan baik secara empirik atau pun normatif-teoritik. Di antara berbagai argumentasi dalam memilih desentralisasi-otonomi daerah adalah:
1. Untuk terciptanya efesensi dan efektifitas penyelenggara pemerintah.
2. Sebagai sarana pendidikan politik.
3. Pemerintah daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan.
4. Stabilitas politik.
5. Kesetaraan politik (political equlity).
6. Akuntabilitas publik[3].
Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah akan dapat diawasi secara langsung dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat karena masyarakat terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pemerintah malalui proses pemilihan secara langsung.
Visi Otonomi Daerah
Otonomi daerah sebagai kerangka penyelenggaraan pemerintah mempunyai visi yang dapat dirumuskan dengan yang lainnya: politik, ekonomi, sosisl dan budaya. Visi otonomi daerah di bidang sosial dan budaya mengandung pengertian bahwa otonomi daerah harus diarahkan pada pengelola , penciptaan dan pemeliharaan integrasi dan harmoni sosial. Pada saat yang sama, visi otonomi daerah dibidang sosial dan budaya adalah memelihara dan mengembangkan nilai, tradisi, karya cipta, bahasa dan karya sastra lokal yang di pandang kondusif dalam mendorong masyarakat untuk merespon positif dinamika kehidupan di sekitarnya dan kehidupan global.
Bentuk dan Tujuan Desentralisasi dalam Konteks Otonomi Daerah
Rondinelli membedakan empat bentuk desentralisasi, yaitu deconcentration, delegtion to semi-autonomous and parastatal agencies, develution to local governments, dan nongovernment institutions(privatization). Dekonsentrasi hanya berupa pergeseran volume pekerjaan dari departemen pusat kepada perwakilannya
Desentralsasi dalam Negara Kesatuan dan Negara Federal: Sebuh Perabandingan.
Dalam dimensi karakter dasar yang dimilki oleh struktur pemerintahan regional/lokal pemerintah daerah dalam negara kesatuan tidak memiliki soverienitas (kedaulatan), sedangkan dalam nagara federal merupakan struktur asli yang memiliki karakter kedaulatan. Dalam pembahasan sistem federal dikenal pembagian kekuasaan dan kewenangan secara vertikal antara negara bagian dan federal. Soveneritas dalam negara federal lazimnya didefinisikan sebagai kompetensi dan bukan sebagai kedaulatan awal negara bagian. Dalam perspektif teori negara federal dualitis (dualistiche bundesstaatstheorie), kepemilikan bersanma kedaulatan antara negara bagian dan federal bukanlah suatu kemustahilan[4].
E. Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia.
Desentralisasi terkait dengan masalah pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat yang berada di ibu kota negara baik melalui secara dekonsentrasi, misalnya pendelegrasian, kepada pejabat di bawahnya maupun melalui pendelegasian kepada pemerintah atau perwakilan d daerah.
Sedangkan pengertian otonomi dalam makna sempit dapat diartikan sebagai ”mandiri ”. Sedangkan dalam makna yang luas diartikan sebagai ” berdaya”. Otonomi daerah engan demikian berarti kemandirian suatu daerah dalam kaitan pembuatan dan pengambilan keputusan mengenai kepentingan daerahnya sendiri.
Namun demikian, pelaksanan desentralisasi haruslah dilandasi argumentasi yang kuat baik secara teoritik ataupun empirik. Kalangan teoritis pemerintah dan politik mengajukan sejumlah argumen yang menjadi dasar atas pilihan tersebut sehingga dapat dipertanggung jawabkan baik secara empirik atau pun normatif-teoritik. Di antara berbagai argumentasi dalam memilih desentralisasi-otonomi daerah adalah:
1. Untuk terciptanya efesensi dan efektifitas penyelenggara pemerintah.
2. Sebagai sarana pendidikan politik.
3. Pemerintah daerah sebagai persiapan untuk karir politik lanjutan.
4. Stabilitas politik.
5. Kesetaraan politik (political equlity).
6. Akuntabilitas publik[3].
Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah daerah akan dapat diawasi secara langsung dan dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat karena masyarakat terlibat secara langsung dalam penyelenggaraan pemerintah malalui proses pemilihan secara langsung.
Visi Otonomi Daerah
Otonomi daerah sebagai kerangka penyelenggaraan pemerintah mempunyai visi yang dapat dirumuskan dengan yang lainnya: politik, ekonomi, sosisl dan budaya. Visi otonomi daerah di bidang sosial dan budaya mengandung pengertian bahwa otonomi daerah harus diarahkan pada pengelola , penciptaan dan pemeliharaan integrasi dan harmoni sosial. Pada saat yang sama, visi otonomi daerah dibidang sosial dan budaya adalah memelihara dan mengembangkan nilai, tradisi, karya cipta, bahasa dan karya sastra lokal yang di pandang kondusif dalam mendorong masyarakat untuk merespon positif dinamika kehidupan di sekitarnya dan kehidupan global.
Bentuk dan Tujuan Desentralisasi dalam Konteks Otonomi Daerah
Rondinelli membedakan empat bentuk desentralisasi, yaitu deconcentration, delegtion to semi-autonomous and parastatal agencies, develution to local governments, dan nongovernment institutions(privatization). Dekonsentrasi hanya berupa pergeseran volume pekerjaan dari departemen pusat kepada perwakilannya
Desentralsasi dalam Negara Kesatuan dan Negara Federal: Sebuh Perabandingan.
Dalam dimensi karakter dasar yang dimilki oleh struktur pemerintahan regional/lokal pemerintah daerah dalam negara kesatuan tidak memiliki soverienitas (kedaulatan), sedangkan dalam nagara federal merupakan struktur asli yang memiliki karakter kedaulatan. Dalam pembahasan sistem federal dikenal pembagian kekuasaan dan kewenangan secara vertikal antara negara bagian dan federal. Soveneritas dalam negara federal lazimnya didefinisikan sebagai kompetensi dan bukan sebagai kedaulatan awal negara bagian. Dalam perspektif teori negara federal dualitis (dualistiche bundesstaatstheorie), kepemilikan bersanma kedaulatan antara negara bagian dan federal bukanlah suatu kemustahilan[4].
E. Sejarah Otonomi Daerah di Indonesia.
Undang-undang nomor 22 tahun 1948 berfokus pada
pengaturan tentang susunan pemerintahan daerah yang demokratis. Di dalam
undang-undang ini ditetapkan 29 (dua) jenis daerah, yaitu daerah otonom biasa
dan daerah otonom istimewa, serta 3(tiga) tingkatan daerah otonom yaitu
propnsi, kabupaten/kota besar dan desa/kota kecil.
Sistem Otonomi Daerah
Yang
dimaksud dengan faham atau sistem otonomi disini ialah patokan tentang cara
penentuan batas-batas urusan rumah tangga daerah dan tentang tata cara
pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat kepada daerah menurut suatu prinsip
atau pola pemikiran tertentu. (Sujamto; 1990)
Banyak
istilah yang digunakan oleh para ahli untuk menerjemahkan maksud tersebut
diatas. Penulis paling tidak mengidentifikasi ada empat istilah yang digunakan
oleh para ahli untuk memahaminya. Istilah-istilah itu antara lain sistem,
paham, ajaran, pengertian.
Adapun
mengenai faham atau atau system otonomi tersebut pada umumnya orang mengenal
ada dua faham atau system pokok, yaitu faham atau system otonomi materiil dan
faham atau system otonomi formal. Oleh Sujamto (1990) kedua istilah ini lazim
juga disebut pengertian rumah tangga materiil (materiele huishoudingsbegrip)
dan pengertian rumah tangga formil (formeele huishoudingsbegrip)
Koesoemahatmadja
(1978) menyatakan ada tiga ajaran rumah tangga yang terkenal yaitu :
a. Ajaran
Rumah Tangga Materiil (materiele huishoudingsleer) atau Pengertian Rumah
Tangga Materiil (materiele huishoudingsbegrip),
b. Ajaran
Rumah Tangga Formil (formil huishoudingsleer) atau Pengertian
Rumah Tangga Formil (formeele huishoudingsbegrip)
c. Ajaran
Rumah Tangga Riil (riele huishoudingsleer) atau Pengertian Rumah Tangga
Riil (riele huishoudingsbegrip)
Pada ajaran
rumah tangga meteril bahwa dalam hubungan antara pemerintah pusat dan
pemerintah daerah ada pembagian tugas yang jelas, dimana tugas-tugas tersebut
diperinci dengan jelas dan diperiinci dengan tegas dalam Undang –Undang tentang
pembentukan suatu daerah. Artinya rumah tangga daerah itu hanya meliputi
tugas-tugas yang telah ditentukan satu persatu dalam Undang-Undang
pembentukannya. Apa yang tidak termasuk dalam perincian tidak termasuk dalam
rumah tangga daerah, melainkan tetap berada ditangan pemerintah pusat. Jadi ada
perbedaan sifat materi antara tugas pemerintah pusat dam pemerintah daerah.
Adapun
mengenai ajaran rumah tangga formil disini tidak terdapat perbedaan
sifat antara tugas-tugas yang diselenggarakan oleh pemerintah pusat dan oleh
pemerintah daerah. Apa yang dapat dikerjakan oleh pemerintah pusat pada
prinsipnya dapat dikerjakan pula oleh pemerintah daerah demikian pula
sebaliknya. Bila ada pembagian tugas maka itu didasarkan atas pertimbangan
rasional dan praktis. Artinya pembagian tugas itu tidaklah disebabkan karena
materi yang diatur berbeda sifatnya, melainkan semata-mata karena keyakinan
bahwa kepentingan daerah itu lebih baik dan berhasil jika diselenggarakan
sendiri daripada diselenggarakan oleh pemerintah pusat. Jadi pertimbangan efisiensilah
yang menentukan pembagian tugas itu bukan disebabkan oleh perbedaan sifat
dari urusan yang menjadi tanggung jawab masing-masing[5].
Perkembangan kebijakan otonomi daerah di Indonesia
a. UU Nomor
1 Tahun 1945 Tentang Pembentukan Komite Nasional Daerah.
Dalam pasal
18 UUD 1945, dikatakan bahwa, “Pembagian daerah Indonesia ataas dasar daerah
besar dan daerah kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan
Undang-Undang, dengabn memandang dan mengingat dasar permusyawaratan dalam
system pemerintahan Negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah yang bersifat
istimewa”. Oleh karena itu Indonesia dibagi dalam daerah-daerah yang lebih
kecil yang bersifat otonom yang pengaturanya dilakukan dengan Undang-undang.
Peraturan
perundangan yang pertama yang mengatur otonomi daerah di Indonesia adalah
Undang-Undang Nomor 1 tahun 1945. Undang-Undang ini dibuat dalam keadaan
darurat, sehingga sehingga hanya mengatur hal-hal yang bersita darurat dan
segera saja. Dalam batang tubuhnyapun hanya terdiri dari 6 (enam ) pasal saja
dan sama sekali tidak memiliki penjelasan. Penjelasan kemudian dibuat oleh
Menteri Dalam Negeri dan tentang penyerahan urusan kedaerah tidak ada
penjelasdan secara eksplisit[6].
Dalam
undang-undang ini menetapkan tiga jenis daerah otonom, yaitu keresidenan,
kabupaten dan kota berotonomi. Pada pelaksanaannya wilayah Negara dibagi
kedalam delapan propinsi berdasarkan penetapan Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) tanggal 19 Agustus 1945. Propinsi-propinsi ini diarahkan untuk
berbentuk administrative belaka, tanpa otonomi. Dalam perkembangannya
khususnya, Propinsi Sumatera, propinsi berubah menjadi daerah otonom. Di
propinsi ini kemudian dibentuk Dewan Perwakilan Sumatera atas dasar Ketetapan
Gubernur Nomor 102 tanggal 17 Mei 1946, dikukuhkan dengan PP Nomor 8 Tahun
1947. Peraturan yang terakhir menetapkan Propinsi Sumatera sebagai Daerah
Otonom.
Dari uraian
diatas maka tidak dapat dilihat secara jelas system rumah tangga apa yang
dianut oleh Undang-undang ini.
b.
Undang-Undang Pokok tantang Pemerintahan Daerah Nomor 22 Tahun 1948.
Peraturan
kedua yang mengatur tentang otonomi daerah di Indonesia adalah UU nomor 22
tahun 1948 yang ditetapkan dan mulai berlaku pada tanggal 15 April 1948.
Dalam UU
dinyatakan bahwa daerah Negara RI tersusun dalam tiga tingkat yakni :
a. Propinsi
b.
Kabupaten/ Kota Besar
c. Desa/
Kota Kecil, negeri, marga dan sebagainya a s/d c tyang berhak mengatur dan
mengurus rumah tangganya sendiri. (Soejito;1976)
Dalam
undang-undang ini tidak dinyatakan mengenai system rumah tangga yang
dianutnya. Oleh karena itu untuk mengetahui system mana yang dianutnya, kita
harus memperhatikan pasal-pasal yang dimuatnya. Terutama yang mengatur
batas-batas rumah tangga daerah.
Ketentuan
yang mengatur hal ini terutama terdapat pada pasal 23 yang terdiri dari 2
ayatsebagi berikut
1. Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah mengatur dan mengurus rumah tangganya daerahnya.
2. Hal-hal
yang masuk urusan rumah tangga tersebut dalam ayat 1 ditetapkan dalam
undang-undang pembentukan bagi tiap-tiap daerah. (Sujamto;1990)
Dari kedua
pasal diatas terlihat bahwa luas daripada urusan rumah tangga atau kewenangan
daerah dibatasi dalam undang-undang pembentukannya. Daerah tidak memiliki
kewenangan untuk mengatur atau mengurus urusan-urusan diluar yang telah
termasuk dalam daftar urusan yang tersebut dalam UU pembentukannya kecuali
apabila urusan tersebut telah diserahkan kemudian dengan UU.
Dari uraian
di atas terlihat bahewa UU ini menganut system atau ajaran materiil.
Sebagai mana dikatakan Nugroho (2001) bahwa peraturan ini menganut menganut
otonomi material., yakni dengan mengatur bahwa pemerintah pusat menentukan
kewajiban apasaja yang diserahkan kepada daerah. Artinya setiap daerah otonom
dirinci kewenangan yang diserahkan, diluar itu merupakan kewenangan pemerintah
pusat.
Hanya saja
system ini ternyata tidak dianut secara konsekwen karena dalam UU tersebut
ditemukan pula ketentuan dalam pasal 28 ayat 4 yang berbunyi: “Peraturan daerah
tidak berlaku lagi jika hal-hal yang diatur didalamnyakemudian diatur dalam
Undang-Undang atau dalam Peraturan pemerintah atau dalam teraturan Daerah yang
lebih tinggi tingkatannya”. (Sujamto;1990)
Ketentuan
ini terlihat jelas membawa ciri system rumah tangga formil bahwa. Jadi pada
dasarnya UU ini menganut dua system rumah tangga yaitu formil dan materil.
Hanya saja karena sifat-sifat system materiil lebih menonjol maka namyak yang
beranggapan UU ini menganut system Materil.
Perlu
dicatat bahwa pada 27 Desember 1949 RI menandatangani Konferensi Meja Bundar,
dimana RI hanya sebagai Negara bagian dari Republik Indonesia Serikat yang
wilayahnya hanya meliputi Jawa, Madura, Sumatera ( minus Sumatera Timur), dan
Kalimantan. Dengan demikian maka hanya pada kawasan ini sajalah UU ini
diberlakukan sampai tanggal 17 Agustus 1950 saat UUD sementara diberlakukan.
c.
Undang-Undang Nomor 1 tahun1957
Dalam
perjalannya UU ini mengalami dua kali penyempunaan yaitui dengan Penetapan
Presiden Nomor 6 Tahun 1959 dan Penetapan Presiden Nomor 5 Tahun 1960. Adapun
nama resmi dari system otoniomi yang dianut adalah system otonomi riil, sebagaimana
secara tegas dinyatakan dalam memori penjelan UU tersebut. (Soejito;1976)
Ketentuan yang mencirikan tentang
system otonomi yang dianutnya terdapat pada pasal 31 ayat 1,2 dan 3 sebagai
berikut:
1. Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah mengatur dan mengurus segala urusan rumah tangga
daerahnya kecuali urusan yang oleh Undang-undang diserahkan kepada peguasa
lain.
2. Dengan
tidak mengurangi ketentuan termaksud dalam ayat 1 diatas dalam peraturan
pembentukan ditetapkan urusan-urusan tertentu yasng diatur dan diurus oleh
dewan perwakilan Rakyat Daerah sejak saat pembentukannya.
3. Denagn
peraturan pemerintah tiap-tiap waktu dengan memperhatikan kesanggupan dan
kemampuan dari masing-masing daerah, atas usul dari dewan perwakilan rakyat
daerah yang bersangkutan dan sepanjang mengenai daerah tingkat II dan III
setelah minta pertimbangan dari dewan pemerintah daerah dari daderah setingkat
diatasny, urusan-urusan tersebut dalam ayat 2 ditambah denga urusan lain.
Dari
ketentuan-ketentuan tersebut terlihat bahwa ciri-ciri system otonomi riil jauh
lebih menonjol dibandingkan dengan yang tedapat dalam UU nomor 22 tahun 1948.
karena itu tidak aneh jika banyak para ahli yang tetap menganggabnya sebagai sistem
otonomi formil. Tetapi karena dualisme yang dianutnya seperti telihat pada
pasal 31 ayat 2 diatas maka tidak salah juga unutk mengatakan bahwa UU ini
menganut system yang dapat diberi nama sendiri yaitu system otonomi riil. (Sujamto;1990)
Penyempurnaan
pertama terhadap UU ini dilakukan berdasarkan Penetapan Presiden Nomor 6
tahun1959. pemberlakukan PP dilatar belakangi oleh kembalinya RI kedalam sistem
Negara kesatuan dengan diberlakukannya kembali UUD 1945 melalui dDekrit
Presiden 5 Juli 1959 menggantikan UUD Sementara tahun 1950. dalam peraturan ini
daerah tetap dibagi dalam tiga tingkatan, namun dengan perbedaan bahwa Kepala
Daerah I dan II tidak bertanggung jawab kepada DPRD I dan II sehingga dualisme
kepemimpinan di daerah dihapuskan. Kepala Daerah berfungsi sebagi alat pusat di
Daerah dan Kepala Daerah diberi kedududukan sebagai Pegawai Negara.
d. Undang-undang Nomor 18 tahun 1965
UU ini
hampir seluruhnya melanjutkan ketentuan yang ada dalam UU Nomor 1 tahun 1957
dan Penetapan Presiden Nomor 6 tahun 1959 serta Nomor 5 tahun 1960.
Dikatakan
oleh Sujamto (1990) Seperti halnya UU Nomor 1 Tahun 1957 UU ini juga menyatakan
diri menganut Sistem Otonomi Riil. Bahkan dalam penjelasan umumnya
banyak sekali mengoper bagian dari penjelasan umum UU Nomor 1 Tahun 1957.
Dalam pelaksanaannya
meski konsepsinya menyatakan adalah penyerahan otonomi daerah secara riil dan
seluas-luasnya, namun kenyataannya otonomi daerah secara kesel;uruhan masih
berupa penyerahan oleh pusat.daerah tetap menjadi actor yang pasif.
e. UU Nomor 5 tahun 1974
Berbeda
dengan dua UU terdahulu ( UU Nomor 1 tahun 1957 dan UU Nomor 18 tahun 1965)
yang menyatakan diri menganut system otonomi riil UU nomor 5 tahun 1974
tidak berbicara apa-apa mengenai system otonomi yang dianutnya. UU ini
menyatakan otonomi yang nyata dan bertanggung jawab bukan sebagai system
atau faham atau pengertian akan tetapi sebagai suatu prinsip.
(Sujamto; 1990)
Sebagaimana
diketahui pada masa pemerintahan Orde baru melakukan perombakan secara mendasar
dalam penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, melalui kebijakan yang
tertuang di garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam Ketetapan MPR No.
IV/MPR/1973, yang antara lain mengatakan :
a. Asas
desentralisai digunakan seimbang dengan asas dekonsentrasi dimana asas
dekonsentrasi tidak lagi dipandang sebagai suplemen atau pelengkap dari asas
desentralisasi ;
b. Prinsip
yang dianut tidak lagi prinsip otonomi yang seluas-luasnya, melainkan otonomi
yang nyata dan bertanggungjawab. Di kemudian hari, MPR dengan ketetapan MPR
Nomor IV/MPR/1978 menambahkan kata dinamis di samping kata nyata dan
bertanggungjawab.
Menurut
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan
kewajiban daerah untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai
dengan Peraturan Perundang-Undangan yang berlaku. Dalam Undang-undang ini juga
menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip ini dianut
untuk mengganti sistem otonomi rill dan seluas-luasnya yang dianut oleh
Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965.
Adapun ketentuan yang mengatur
mengenai pembatasan terhadap luasnya urusan rumah tangga daerah dapat dilihat
dalam beberapa pasal berikut :
1. Pasal 5
yang merupakan ketentuan yang belum pernah ada pada semua UU terdahulu yaitu
yang mengatur tentang penghapusan suatu daerah.
2. Pasal 7
yang berbunyi daerah berhak, berwenang dan berkewajiban mengatur dan mengurus
rumah tangga sendiri sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku;
3. Pasal 8
ayat 1 berbunyi “Penambahan penyerahan urusan pemerintahan ditetapkan dengan
Peraturan Pemerintah”
4. Pasal 9
yang berbunyi “sesuatu urusan pemerintahan yang telah diserahkan kepada daerah
dapat ditarik kembali dengan pengaturan perundang-undangan yang setingkat.
5. pasal 39
yang mengatur pembatasan-pembatasan terhadap ruang lingkup materi yang yang
dapat diatur oleh Peraturan Daerah.
Dari ketentuan-ketentuan diatas maka
terlihat sesungguhnya UU adalah menganut system atau ajaran rumah tangga
material . dalam UU ini tidak ditemukan ketentuan yang mengatakan tentang
gugurnya suatu Peraturan Daerah apabila materinya telah diatur dalam Peraturan
perundang-undangan atau dalam peraturan daerah yang lebih tinggi yang merupakan
ciri dari system rumah tangga formil.
f. UU Nomor
22 tahun 1999
Sebagaimana
UU Nomor 5 tahun 1974 dalam UU ini juga tidak dinyatakan secara gamblang
tentang system atau ajarang rumah tangga yang dianutnya. Unutk dapat mengetahui
system atau ajaran yang dianut kita harus melihatnya pada pasal-pasal yang
mengatur tentang pembatasan kewenangan atau luasnya uruasan yang diberikan
kepada daerah.
Dalam UU
sebutan daerah tingkat I dan II sebagaimana UU Nomor 5 tahun 1974 dihilangkan
menjadi hanya daerah propinsi dan daerah kabupaten/ kota. Hierarki antara
propinsi dan Kabupaten/ kota ditiadakan. Otonomi yang luas diberikan kepada
daerah kabupaten dan daerah kota. Sedangkan propinsi.
Adapun ketentuan yang mengatur
mengenai pembatasan terhadap luasnya urusan rumah tangga daerah dapat dilihat
dalam beberapa pasal berikut :
1. Dalam
pasal 7 dinyatakan bahwa kewenangan daerah mencakup kewenangan dalam seluruh
bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam politik luar negeri, pertahanan
keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama serta kewenangan bidang lain.
2. Dalam
pasal 9 dinyatakan Kewenangan propinsi sebagai daerah otonom mencakup
kewenangan dalam bidang pemerintahan yang bersifat lintas kabupaten dan kota
serta kewenangan yang tidak atau belum dilaksankan oleh kabupaten dan kota.
Selain itui kewenangan propinsi sebagai daerah administrative mencakup
kewenangan dalam bidang pemerintahan yanmg dilimpahkan kepada gubernur selaku
wakil pemerintah pusat.
3. Dalam
pasal 10 ayat 1 daerah berwenang mengelola sumberdaya nasional yang tersedia
diwilayahnya dan bertanggung jawab memelihara kelestarian lingkungan sesuai
dengan perundang-undangan.
4. Dalam
pasal 11 dinyatakan bahwa kewenangan daerah kabupaten dan kota mencakup semua
kewenangan pemerintahan selain kewenangan yang dikecualikan dalam pasal 7 dan
yang diatur dalam pasal 9.
Dari uraian diatas terlihat system
atau ajaran rumah tangga yang digunakan atau danutnya adalah perpaduan antara ajaran
rumah tangga material dan ajaran rumah tangga formil. Dikatakan
menganut ajaran materil karena dalam pasal 7, pasal 9 dan pasal 11dinyatakan
secara jelas apa-apa saja yang menjadi urusan rumah tangga yang merupakan ciri
daripada system atau ajaran rumah tangga material. Sedangkan dikatakan menganut
pula ajaran formil antara lain terlihat pada pasal 10, pasal 70 dan pasal 81
didalamnya dinyatakan bahwa daerah kabupaten dan kota memiliki kewenangan untuk
mengelola sumberdaya nasional yang tersedia di wilayahnya. Selain itu dkatakan
bahwa peraturan daerah daerah tidak boleh bertentangan dengan kepentingan umum,
peraturan daerah lain dan peraturan perundangan-undangan yang lebih tinggi yang
meruapakan ciri daripada system atau ajaran rumah tangga formil[7].
F. Otonomi Daerah Dan Demokratisasi
Otonomi
daerah sudah menggelinding berbarengan dengan reformasi. Ia merupakan terobosan
untuk memperkuat Indonesia sebagai sebuah negara bangsa dengan mengakomodasi
keragaman daerah. Akomodasi ini bukan untuk memperlemah, tapi sebaliknya, untuk
memperkuat Indonesia.
Dalam konteks itu otonomi daerah
adalah sistem untuk membuat hubungan kongruen antara pusat dan daerah.
Sejauhmana kongruensi ini telah terbangun?
Dilihat dari
sikap dan perilaku politik warga, otonomi daerah yang sudah berjalan sampai
hari ini belum mampu menjembatani kedaerahan dan keindonesiaan. Hubungan antara
kedaerahan dan keindonesiaan masih negatif, dan yang punya sentimen kedaerahan
dibanding keindonesiaan masih banyak. Selain itu, otonomi daerah belum mampu
menyerap keragaman dalam keindonesiaan.
Sumber utama
dari belum mampunya otonomi daerah menjembatani kedaerahan dan keindonesiaan,
belum mampunya menciptakan sistem politik yang kongruen antara pusat dan
daerah, adalah kinerja otonomi daerah itu sendiri yang dinilai publik belum
banyak menciptakan keadaan lebih baik dibanding sistem pemerintahan yang
terpusat sebelumnya.
Akar dari
belum berkinerja baiknya otonomi daerah terkait dengan evaluasi publik atas
kinerja pemerintah daerah. Evaluasi positif publik atas kinerja otonomi daerah
tergantung pada apakah kinerja pemerintah akan semakin baik, atau sebaliknya.
Bila tidak, maka sikap negatif publik pada otonomi daerah akan menjadi semkin
kuat, dan pada gilirannya akan semakin menjauhkan daerah dengan pusat,
kedaerahan dan keindonesiaan.
Namun
demikian, tidak terkaitnya secara berarti antara otonomi daerah dan
keindonesiaan masih tertolong berkat demokrasi. Demokrasilah yang menggerus
kedaerahan, bukan otonomi daerah. Untungnya, demokrasi pula yang berhubungan
secara sistemik dengan otonomi daerah.
Demokrasi
menjadi titik temu antara otonomi daerah dan keindonesiaan, dan karena itu
penguatan demokrasi menjadi prasarat bagi terbentuknya hubungan yang kongruen
antara keindonesiaan dan kedaerahan, antara otonomi daerah dan NKRI. Bila
demokrasi melemah, terutama dilihat dari kinerjanya, maka otonomi daerah bukan
memperkuat NKRI melainkan memperlemahnya.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Otonomi daerah adalah kewenangan daerah untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi
masyarakat dalam ikatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Ada tiga aspek otonomi daerah yaitu
:
1.
Aspek Hak dan Kewenangan untuk mengatur dan mengurus
rumah tangganya sendiri.
2.
Aspek kewajiban untuk tetap mengikuti peraturan dan
ketentuan dari pemerintahan di atasnya, serta tetap berada dalam satu kerangka
pemerintahan nasional.
3.
Aspek kemandirian dalam pengelolaan keuangan baik dari
biaya sebagai perlimpahan kewenangan dan pelaksanaan kewajiban, juga terutama
kemampuan menggali sumber pembiayaan sendiri.
Keadaan geografis indonesia yang berupa kepulauan
berpengaruh terhadap mekanisme pemerintahan negara, sehingga diperlukan adanya
otonomi daerah untuk memudahkan pengaturan atau penataan pemerrintahan yang ada
di Indonesia.
Dalam otonomi daerah
terdapat prinsip dan tujuan dari otonomi daerah, Adapun tujuan pemberian
otonomi kepada daerah adalah untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna
penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan guna meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat.
Kemudian
dalam otonommi daerah, terdapat demokrasi yang menjadi titik temu antara
otonomi daerah dan keindonesiaan, dan karena itu penguatan demokrasi menjadi
prasarat bagi terbentuknya hubungan yang kongruen antara keindonesiaan dan
kedaerahan, antara otonomi daerah dan NKRI.
DAFTAR PUSTAKA
Sarundajang,S.H,
1999, Arus balik Kekuasaan Pusat Ke daerah, Pustaka Sinar
Harapan, Jakarta
Soejito,
Irawan, 1976, Sejarah Pemerintahan Daerah Di Indonesia jilid 1&2,
Pradnya Paramita, Jakarta
Koesoemahamadja,R.D.H.,
1978, Fungsi & Struktur Pamongpraja, Alumni, Bandung
[1] http://id.shvoong.com/law-and-politics/political-philosophy/2062077-pengertian-otonomi-daerah/#ixzz1erLuWWTP
[3]
http://otonomi_daerah/co.id.html
[4] Soejito, Irawan, 1976, Sejarah
Pemerintahan Daerah Di Indonesia jilid 1&2, Pradnya Paramita,
Jakarta
[6] Soejito, Irawan, 1976, Sejarah
Pemerintahan Daerah Di Indonesia jilid 1&2, Pradnya Paramita,
Jakarta
0 komentar:
Posting Komentar